Tag: Digital

Ekosistem Berbasis Platform

Ekosistem bisnis memiliki karakteristik koordinasi yang unik, dengan entitas yang tergabung tetap bersifat mandiri, namun dihubungkan oleh arsitektur bersama yang bersifat modular. Modularitas dalam ekosistem ini memungkinkan setiap komponen untuk dikelola secara independen dengan tetap menjaga koordinasi antarmodul. Dalam konteks ini, pengelola ekosistem memiliki fleksibilitas penuh dalam desain dan operasi selama konektivitas antar modul tetap terjaga. Ekosistem menjadi relevan ketika koordinasi internal menawarkan nilai yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar, namun tidak memerlukan struktur otoritas terpusat untuk berfungsi secara efektif.

Platform dirancang sebagai inti arsitektur sebuah ekosistem, termasuk untuk menerapkan tata kelola dan model bisnis. Penyedia platform diharapkan berfungsi sebagai perancang ekosistem. Namun dalam dunia bisnis dan teknologi yang selalu berubah, kesederhanaan struktur seperti ini dapat setiap saat berubah.

Penelitian dari Ceccagnoli dkk. (2012) serta Gawer & Cusumano (2008) menjelaskan bahwa ekosistem berbasis platform melibatkan penyedia platform utama dan para penyedia produk atau layanan pelengkap (komplementer). Para komplementor ini berperan penting dalam meningkatkan nilai platform bagi pelanggan. Menurut Ceccagnoli dkk. (2012), keterhubungan dengan platform tidak hanya memungkinkan inovasi dari pihak komplementor, tetapi juga memberi mereka akses ke kustomer platform, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, Wareham, Fox, dan Cano Giner (2014) memandang ekosistem platform sebagai suatu marketplace semi-teregulasi yang berfungsi sebagai katalisator aktivitas kewirausahaan melalui koordinasi atau arahan yang diberikan oleh penyedia platform. Cennamo dan Santaló (2013) menambahkan perspektif bahwa ekosistem platform dapat dipahami sebagai pasar multi-sisi yang memungkinkan terjadinya transaksi lintas kelompok pengguna yang berbeda, menciptakan nilai tambah melalui dinamika interaksi antara berbagai pihak dalam ekosistem tersebut.

Paper Jacobides, Cennamo, dan Gawer (2018) memaparkan perbandingan model rantai nilai pada ekosistem dibandingkan sistem lain dalam gambar di bawah.

Model rantai nilai berbasis ekosistem menawarkan pendekatan koordinasi yang berbeda dibandingkan dengan sistem berbasis hierarki dan sistem berbasis nilai pasar. Dalam sistem hierarki, aliran nilai didominasi oleh struktur vertikal yang terorganisir secara ketat, di mana entitas-entitas yang terlibat, seperti komponen atau pemasok, beroperasi dalam kerangka kerja yang ditentukan oleh produk fokus. Relasi antar komponen diatur melalui kontrol langsung, dengan tingkat persaingan yang minim tetapi lebih menekankan kerja sama untuk mencapai efisiensi operasional dalam rantai pasok. Dalam sistem berbasis nilai pasar, struktur hubungan bersifat desentralisasi sepenuhnya, di mana transaksi berlangsung secara langsung antara entitas yang berbeda tanpa peran dominan dari sebuah produk fokus atau penyedia platform. Dalam sistem ini, kompetisi menjadi elemen utama, dengan masing-masing produk atau layanan berupaya untuk menarik pelanggan secara independen.

Sebaliknya, sistem berbasis ekosistem memberikan fleksibilitas yang lebih besar melalui modularitas dan keterhubungan antar entitas. Produk fokus tetap menjadi pusat, tetapi aktor-aktor lain, termasuk komplementor, memiliki otonomi untuk berinovasi dan berkolaborasi, menciptakan nilai tambah baik secara langsung maupun tidak langsung. Komplementor tidak hanya mendukung produk fokus tetapi juga saling terhubung satu sama lain, memungkinkan terciptanya sinergi yang lebih dinamis dibandingkan sistem hierarki. Model ini tetap memerlukan koordinasi untuk memastikan integrasi dan keberlanjutan antar entitas dalam ekosistem.

Arsitektur Transformasi Digital

Buku ini sempat dikaji bersama team beberapa tahun lalu: Architecting the Digital Transformation, dengan editor Zimmermann, Schmidt, dan Jain. DOI: 10.1007/978-3-030-49640-1. Kajian didalamnya meliputi juga transformasi digital berskala enterprise, dengan penekanan pada agility yang digerakkan oleh arsitektur, evolusi peran arsitektur perusahaan, serta perubahan di level sistem pada budaya dan organisasi.

Transformasi digital kini menjadi agenda penting bagi enterprise yang ingin tetap kompetitif di tengah perubahan teknologi dan sosial yang sangat cepat. Namun, keberhasilan pada skala enterprise tidak cukup hanya dengan mengadopsi teknologi baru. Dibutuhkan penataan ulang arsitektur bisnis, budaya organisasi, dan tata kelola yang mendukung perubahan berkelanjutan.

Buku ini memberikan pandangan berbasis riset tentang navigasi kompleksitas transformasi digital di tingkat enterprise. Salah satu gagasan kuncinya adalah pentingnya pendekatan perpetual evolution—sebuah model arsitektur yang modular, fleksibel, dan memungkinkan inovasi terus-menerus. Sistem dirancang agar komponennya dapat diganti atau dikembangkan secara mandiri, sehingga integrasi teknologi baru menjadi lebih cepat dan efisien. Pendekatan ini sangat relevan di era teknologi yang bergerak dinamis, sekaligus menghindarkan perusahaan dari keterikatan pada infrastruktur monolitik.

Sebagai pelengkap, buku ini juga membahas strategi bimodal IT: kombinasi antara core system yang stabil dan lapisan inovatif yang agile. Model ini memungkinkan perusahaan melakukan eksperimen dan iterasi cepat tanpa mengganggu stabilitas operasional, menjembatani sistem lama dengan inisiatif digital yang lebih progresif.

Pentingnya menyelaraskan tim agile dengan peran enterprise architect menjadi tema berulang. Kedua peran ini sering dianggap bertentangan—agile mengejar kecepatan dan fleksibilitas, sementara arsitektur fokus pada struktur dan tata kelola. Namun melalui studi kasus, buku ini menunjukkan bahwa kolaborasi keduanya justru memperkuat integritas solusi dan kecepatan delivery. Architect tidak lagi hanya membuat blueprint dari jauh, tapi ikut dalam tim, menyusun roadmap, dan berperan sebagai fasilitator.

Untuk memastikan praktik arsitektur tetap berjalan tanpa kontrol berlebihan, diperkenalkan pendekatan berbasis insentif sosial dan governance ringan. Salah satu contoh inovatifnya adalah Architecture Belt—sistem gamifikasi berbasis tingkatan yang mendorong kepatuhan terhadap prinsip arsitektur secara menyenangkan dan partisipatif. Ini sangat efektif dalam lingkungan agile skala besar, di mana keselarasan dan otonomi perlu berjalan beriringan.

Transformasi digital juga menuntut perubahan budaya. Organisasi perlu membangun digital dexterity—budaya kerja yang mendukung pembelajaran cepat, eksperimentasi, dan kemandirian tim. Transformasi yang berhasil biasanya lahir dari tim lintas fungsi yang diberdayakan untuk mencoba, gagal, dan berkembang. Di sini, peran architect juga bergeser: bukan sekadar perencana, melainkan kontributor aktif dalam ekosistem digital, mulai dari pengelolaan knowledge base hingga dukungan teknis langsung.

Buku ini turut membahas evolusi Enterprise Architecture Management (EAM). Model EAM tradisional yang terpusat dan statis dianggap tidak lagi relevan dengan praktik agile dan DevOps saat ini. Sebaliknya, Agile EAM bersifat iteratif, kolaboratif, dan dekat dengan tim pelaksana, memungkinkan organisasi lebih gesit merespons dinamika pasar dan teknologi.

Terakhir, metode Service-Dominant Design (SDD) diperkenalkan sebagai kerangka kerja untuk merancang layanan digital yang berbasis co-creation. SDD menekankan pentingnya membangun solusi bersama pengguna dengan pendekatan kontekstual dan iteratif, sehingga hasilnya tidak hanya fungsional tapi juga relevan secara nyata.

Secara keseluruhan, peran strategis enterprise architecture sedang mengalami redefinisi. Arsitek digital terbaik kini berperan aktif dalam membentuk platform, mendorong kolaborasi lintas tim, dan menjaga konsistensi antar inisiatif digital. Mereka memadukan struktur dan agility dalam satu kerangka yang tumbuh bersama bisnis. Inilah fondasi transformasi digital yang berkelanjutan—sebagaimana dijabarkan secara mendalam dalam Architecting the Digital Transformation.

© 2025 Leadership Insights

Theme by Anders NorenUp ↑