Tema Awal 2025

Annual letter dari Future Today Institute memaparkan situasi yang terjadi di akhir 2024 serta dampak yang perlu dipertimbangkan di 2025. Ringkasannya dipaparkan di bawah ini.

1. Technology Supercycle: Tahun 2025 menandai dimulainya “Supercycle Teknologi” yang dipicu oleh konvergensi teknologi-teknologi baru seperti AI, sensor canggih, dan bioteknologi. Periode percepatan inovasi ini dapat menyaingi revolusi besar sebelumnya seperti listrik dan internet, memicu pergeseran ekonomi, munculnya industri baru, dan transformasi sosial.

2. Living Intelligence: Lebih dari sekadar AI, sistem “kecerdasan hidup” akan menggabungkan AI, sensor canggih, dan bioteknologi untuk menciptakan sistem yang dapat beradaptasi dan belajar sendiri. Sistem ini akan mengubah industri dan pasar, mendorong para pemimpin untuk melampaui pemikiran berbasis AI semata agar dapat menangkap peluang dari konvergensi ini.

3. PLAMs, CLAMs, & GLAMs: Evolusi dari LLM (Large Language Models) ke LAM (Large Action Models) akan memungkinkan eksekusi tugas secara real-time, bukan hanya pembuatan konten. Model tindakan pribadi (PLAM), perusahaan (CLAM), dan pemerintahan (GLAM) akan mengotomatiskan pengambilan keputusan, merampingkan pengalaman pengguna, dan beroperasi secara mandiri dengan memanfaatkan data perilaku.

4. Weird Tech Alliances: Kemitraan yang tak terduga, seperti Apple yang menggunakan chip pelatihan AI milik Amazon, menandakan pergeseran menuju kolaborasi lintas industri. Para pemain besar cloud seperti AWS, Microsoft, dan Google semakin banyak bermitra dengan raksasa teknologi lainnya untuk mengembangkan infrastruktur AI generasi berikutnya.

5. Crypto Winter Thaws: Kenaikan Bitcoin hingga mencapai $100K terkait dengan terpilihnya Donald Trump, yang berjanji menjadikan AS sebagai “pusat kripto dunia” dengan mendorong deregulasi pasar. Usulan Trump untuk menciptakan cadangan strategis kripto dan pengangkatan tokoh pro-kripto sebagai ketua SEC mengisyaratkan kondisi yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan mata uang kripto pada tahun 2025.

6. Quantum Computing’s Breakthrough: Kemajuan dalam koreksi kesalahan dan sistem hybrid kuantum-klasik mendorong komputasi kuantum ke arah komersialisasi. Investasi dari Google, IBM, dan pemerintah AS bertujuan membuat sistem kuantum lebih mudah diakses, dengan sistem hybrid menjadi peluang bisnis dalam waktu dekat.

7. Climate Tech Innovation: Perubahan iklim akan meningkatkan permintaan terhadap inovasi teknologi seperti desalinasi, beton pengurang karbon, dan alternatif GPS. Seiring meningkatnya cuaca ekstrem, kebutuhan akan infrastruktur yang tangguh akan mendorong percepatan komersialisasi dan adopsi teknologi iklim.

8. Nuclear Energy Comeback: Reaktor Modular Kecil (SMR) semakin diminati sebagai alternatif bersih dan skalabel untuk pembangkit listrik tenaga nuklir tradisional. Microsoft, Google, dan Amazon berinvestasi dalam SMR untuk memasok energi pusat data mereka. Pemerintah AS juga mendukung pengembangan SMR, dan energi fusi mungkin akan mengalami terobosan besar pada tahun 2025.

9. Chaos in Europe: Ketidakstabilan politik di Prancis dan Jerman akan melemahkan kemampuan Eropa dalam mendorong inovasi, terutama dengan diberlakukannya UU AI Uni Eropa pada tahun 2025. Tanpa kepemimpinan yang kuat, sektor “Mittelstand” Jerman dan ekosistem teknologi Prancis mungkin kesulitan, yang pada akhirnya dapat mengurangi daya saing Eropa secara keseluruhan.

10. Washington’s Game of Thrones: Para miliarder teknologi, yang diperkaya oleh pemerintahan Trump, akan semakin menguasai proses pembuatan kebijakan di AS. Pengaruh Lembah Silikon di Washington akan meningkat, menggantikan otoritas tradisional pemerintah, karena para pemimpin teknologi memanfaatkan kekayaan dan pengaruh mereka untuk membentuk kebijakan yang menguntungkan mereka.

Sumber:
Webb, Amy. Annual Letter — 2025 Macro Themes + 2024 Signals Review. Future Today Institute. [URL]

Teori Institusi

Hadiah Nobel Ekonomi dianugerahkan tahun 2024 ini pada Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson, sebagai pengakuan atas Teori Institusi yang mereka kembangkan. Anugerah ini diumumkan 9 Oktober 2024, dengan tambahan bahwa teori mereka memberikan wawasan tentang penyebab kemiskinan atau kekayaan berbagai negara, lengkap dengan panduan bagi kebijakan pembangunan dan reformasi institusi.

Teori Institusi mengungkapkan bahwa kemakmuran suatu negara bukan sekadar ditentukan oleh faktor geografis, budaya, atau sumber daya alam; namun lebih oleh institusi, yang dalam hal ini berarti aturan, kebijakan, dan struktur sosial. Institusi ini memainkan peran kunci dalam mendorong atau menghambat kemajuan ekonomi. Paran pengembang teori ini membagi institusi atas institusi inklusif dan institusi ekstraktif.

Institusi inklusif adalah institusi yang memungkinkan partisipasi luas dari masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Dengan adanya perlindungan terhadap hak kepemilikan, jaminan kesetaraan peluang, dan dorongan terhadap inovasi, institusi inklusif memungkinkan banyak orang untuk ikut serta dalam pembangunan ekonomi. Sebaliknya, institusi ekstraktif berfungsi dengan cara yang bertolak belakang. Kekuasaan dan kekayaan terkonsentrasi di tangan sekelompok kecil elit. Akibatnya, sebagian besar masyarakat terpinggirkan dari akses ekonomi, dan inovasi menjadi terhambat. Negara-negara dengan institusi ekstraktif cenderung terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Salah satu elemen menarik dari teori ini adalah konsep critical junctures atau persimpangan kritis. Ini adalah momen-momen penting dalam sejarah suatu bangsa—seperti revolusi, perang, atau penjajahan—yang bisa mengubah arah jalur institusional mereka. Pada saat-saat inilah masyarakat bisa memilih untuk membangun institusi yang lebih inklusif atau malah memperkuat institusi yang ekstraktif. Contoh klasik yang sering diangkat adalah perbedaan nasib antara Amerika Utara dan Amerika Latin setelah kedatangan penjajah Eropa. Amerika Utara, dengan iklim dan kondisi lingkungan yang cocok untuk pemukiman, cenderung mengembangkan institusi yang melibatkan masyarakat secara luas. Sebaliknya, Amerika Latin, dengan sumber daya alam yang berlimpah, justru menarik para penjajah untuk membangun sistem berbasis eksploitasi sumber daya. Dampaknya, Amerika Utara berkembang menjadi wilayah yang lebih makmur dan stabil secara politik, sementara Amerika Latin terus bergulat dengan ketimpangan sosial dan ekonomi.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah konsep sentralisasi kekuasaan politik. Institusi yang baik butuh dukungan dari kekuasaan politik yang kuat dan terpusat. Mengapa? Karena tanpa kekuasaan terpusat, aturan hukum sulit ditegakkan, dan konflik kepentingan menjadi lebih sering terjadi. Namun, sentralisasi ini harus disertai dengan akuntabilitas. Tanpa akuntabilitas, kekuasaan politik yang kuat bisa berubah menjadi sistem yang opresif dan ekstraktif. Bayangkan negara-negara otoriter di mana penguasa mengontrol segalanya tanpa pengawasan—sistem semacam ini cenderung membangun institusi ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Selain itu, ada fenomena yang disebut pergeseran institusi; yaitu perubahan kecil yang terjadi secara bertahap dalam jangka panjang. Pergeseran ini bisa memperkuat sistem inklusif atau, sebaliknya, justru membuat institusi yang tadinya inklusif menjadi ekstraktif. Misalnya, reformasi hukum kecil-kecilan atau perubahan kebijakan tertentu mungkin terlihat sepele, tapi jika dilakukan secara terus-menerus, dampaknya bisa besar dalam jangka panjang. Inilah mengapa dinamika kekuasaan politik sangat penting. Elit yang diuntungkan dari sistem ekstraktif cenderung akan menolak perubahan, karena mereka tidak ingin kehilangan akses ke kekuasaan dan kekayaan.

Pendekatan mereka juga didukung oleh banyak bukti empiris. Salah satu penelitian mereka yang paling terkenal adalah tentang warisan kolonial. Dalam penelitian tersebut, mereka menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang di masa lalu membangun institusi ekstraktif selama era kolonial, seperti kebun-kebun besar di Afrika atau Amerika Latin, saat ini masih mengalami masalah kemiskinan dan ketidaksetaraan yang tinggi. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang membentuk institusi inklusif, seperti Amerika Utara, saat ini cenderung lebih stabil secara politik dan lebih makmur secara ekonomi. Peristiwa penting lain yang sering mereka soroti adalah Revolusi Agung (Glorious Revolution) di Inggris, di mana sistem monarki absolut diubah menjadi sistem monarki konstitusional yang lebih inklusif, sehingga memungkinkan lahirnya lembaga-lembaga ekonomi modern yang lebih terbuka dan partisipatif.

Lalu, bagaimana teori ini relevan untuk manajemen strategis? Dalam dunia bisnis, perusahaan tidak bisa lepas dari pengaruh institusi di negara tempat mereka beroperasi. Jika suatu negara memiliki institusi inklusif, maka bisnis memiliki peluang lebih besar untuk berkembang. Sebaliknya, di negara-negara dengan institusi ekstraktif, perusahaan sering menghadapi risiko yang lebih besar, seperti korupsi, ketidakpastian hukum, dan pengambilan keputusan yang didominasi oleh elit tertentu. Teori ini juga memberikan wawasan bagi perusahaan multinasional yang ingin melakukan ekspansi global. Sebelum berinvestasi di negara tertentu, penting untuk menganalisis apakah institusi di negara tersebut bersifat inklusif atau ekstraktif. Perusahaan dapat menggunakan pemahaman ini untuk memetakan risiko dan merancang strategi mitigasi yang lebih efektif.

Menariknya, perusahaan bukan hanya aktor pasif dalam ekosistem institusional. Dalam beberapa kasus, perusahaan besar justru dapat memengaruhi bentuk institusi di suatu negara. Perusahaan yang kuat secara finansial dapat melobi perubahan kebijakan atau memperkuat status quo. Kadang-kadang, perusahaan membantu memperkuat sistem ekstraktif dengan mendukung regulasi yang menguntungkan mereka, tetapi di sisi lain, perusahaan juga dapat mendorong reformasi yang lebih inklusif, misalnya dengan mengadvokasi transparansi dan keadilan dalam peraturan pasar.

Sumber:
Acemoglu D, Johnson S, Robinson J, 2004. Institutions as the Fundamental Cause of Long-Run Growth, NBER Working Paper Series, National Bureau of Economic Research. URL: http://www.nber.org/papers/w10481

Ekonomi Kompleksitas

Arthur WB (2021) menulis paper yang membandingkan ekonomi konvensional (neoklasik) dengan ekonomi kompleksitas.

Ekonomi neoklasik konvensional didasarkan pada beberapa asumsi inti:

  1. Rasionalitas sempurna: Diasumsikan bahwa agen-agen ekonomi memecahkan masalah yang terdefinisi dengan baik menggunakan logika rasional sempurna untuk mengoptimalkan perilaku mereka.
  2. Agen representatif: Biasanya diasumsikan bahwa agen-agen ini serupa satu sama lain — mereka bersifat “representatif” — dan dapat dikategorikan ke dalam satu, sedikit, atau sejumlah kecil tipe yang mewakili.
  3. Pengetahuan bersama: Diasumsikan bahwa semua agen memiliki pengetahuan yang sama tentang tipe agen lain, bahwa agen lain juga sepenuhnya rasional, dan mereka berbagi pengetahuan umum ini.
  4. Keseimbangan: Diasumsikan bahwa hasil agregat konsisten dengan perilaku agen, sehingga tidak ada insentif bagi agen untuk mengubah tindakan mereka.

Namun, dalam 120 tahun terakhir, ekonom seperti Thorstein Veblen, Joseph Schumpeter, Friedrich Hayek, dan Joan Robinson menentang kerangka keseimbangan ini dengan alasan masing-masing. Mereka berpendapat bahwa diperlukan pendekatan ekonomi yang berbeda.

Presentasi di IEEE TEMS tentang Pengembangan Strategi berbasis Kompleksitas

Pada tahun 1987, Santa Fe Institute mengadakan konferensi yang mengundang sepuluh teoretisi ekonomi dan sepuluh teoretisi fisika untuk mengeksplorasi ekonomi sebagai sistem kompleks yang terus berkembang.

Ekonomi kompleksitas melihat ekonomi bukan sebagai sistem yang selalu dalam keadaan seimbang, tetapi sebagai sistem yang terus berubah. Keputusan yang diambil oleh para pelaku ekonomi (atau agen) tidak diasumsikan superrasional, dan masalah yang mereka hadapi tidak selalu terdefinisi dengan baik. Ekonomi tidak lagi dipandang sebagai “mesin yang bekerja sempurna,” melainkan sebagai “ekologi” yang selalu berubah — berisi kepercayaan, prinsip pengorganisasian, dan perilaku yang terus berkembang.

Ekonomi kompleksitas menganggap bahwa setiap pelaku ekonomi berbeda satu sama lain, memiliki informasi yang tidak sempurna tentang agen lain, dan terus mencoba memahami situasi yang mereka hadapi. Agen-agen ini mengeksplorasi, bereaksi, dan terus-menerus mengubah tindakan dan strategi mereka berdasarkan hasil yang mereka ciptakan bersama. Hasil akhirnya mungkin tidak dalam keadaan keseimbangan dan dapat menunjukkan pola serta fenomena baru yang tidak terlihat dalam analisis keseimbangan. Ekonomi menjadi sesuatu yang tidak tetap dan ada begitu saja, tetapi terus berkembang melalui kumpulan tindakan, strategi, dan keyakinan yang sedang berkembang. Ekonomi tidak lagi mekanistik, statis, abadi, dan sempurna, melainkan organik, hidup, selalu menciptakan dirinya sendiri, dan penuh dengan dinamika yang rumit.

Perbandingannya dipaparkan dalam tabel berikut:

Dalam sistem kompleks, tindakan yang diambil oleh seorang agen disalurkan melalui jaringan koneksi. Dalam ekonomi, jaringan ini dapat terbentuk melalui perdagangan, transmisi informasi, pengaruh sosial, atau aktivitas pinjam-meminjam. Ada beberapa aspek menarik dari jaringan ini:

  1. Struktur interaksi atau topologi jaringan memengaruhi stabilitas.
  2. Jaringan memungkinkan pasar untuk mengatur diri mereka sendiri.
  3. Risiko dapat ditransmisikan melalui jaringan, peristiwa dapat menyebar, dan struktur kekuasaan dapat terbentuk.

Topologi jaringan sangat penting untuk menentukan apakah konektivitas meningkatkan stabilitas atau justru sebaliknya. Kerapatan koneksi juga memainkan peran penting. Jika sebuah peristiwa terjadi di jaringan yang jarang terhubung, dampaknya akan segera berhenti karena tidak ada jalur untuk penyebaran lebih lanjut. Namun, di jaringan yang sangat terhubung, peristiwa tersebut akan menyebar luas dan terus meluas dalam waktu yang lama. Jika jaringan perlahan-lahan meningkatkan tingkat konektivitasnya, sistem akan berubah dari memiliki sedikit dampak (atau tanpa dampak) menjadi dampak besar, bahkan menghasilkan konsekuensi yang tidak berakhir. Hal ini dikenal sebagai perubahan fase, salah satu ciri khas dari ekonomi kompleksitas.

Ekonomi kompleksitas, dengan fokusnya pada dinamika jaringan dan evolusi sistem, menawarkan cara baru untuk memahami perilaku ekonomi di dunia yang penuh ketidakpastian dan perubahan yang cepat.

Referensi:

Disonansi Kognitif

Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance) yang dikembangkan oleh Leon Festinger dianggap penting dalam pengembangan strategi perusahaan, karena memberikan wawasan bagaimana organisasi dan individu di dalamnya menghadapi inkonsistensi antara keyakinan, tindakan, dan realitas bisnis. Dalam penyusunan strategi, teori ini membantu pemimpin memahami bagaimana penyusun strategi seharusnya menghadapi bias antara strategi yang tengah disusun dengan keyakinan penuh, dengan visi dan realitas bisnis yang seringkali jauh berlawanan. Dalam implementasi strategi, pemimpin dapat mensikapi respons pelaku strategi menghadapi perubahan visi, misi, atau pendekatan baru. Ketika strategi baru bertentangan dengan nilai atau budaya organisasi yang sudah ada, disonansi dapat muncul, sehingga diperlukan pendekatan yang cermat untuk mengelola perubahan, seperti komunikasi yang efektif atau pelibatan tim dalam proses strategis.

Teori disonansi kognitif membahas tentang ketegangan psikologis yang muncul ketika terdapat ketidakselarasan antara keyakinan, nilai, atau sikap seseorang dengan tindakan atau realitas yang dihadapinya. Gambar di atas menggambarkan inti dari teori ini, di mana inkonsistensi antara keyakinan dan realitas atau tindakan menghasilkan disonansi.

Disonansi ini menciptakan perasaan tidak nyaman pada individu atau perusahaan, mendorong mereka untuk mengurangi atau menghilangkannya. Ada tiga mekanisme utama untuk menurunkan disonansi: mengubah keyakinan, mengubah persepsi, atau mengubah tindakan. Mengubah keyakinan berarti menyesuaikan pandangan atau pendirian agar sesuai dengan tindakan atau fakta yang ada. Mengubah persepsi melibatkan reinterpretasi atau pembingkaian ulang situasi sehingga lebih selaras dengan keyakinan yang sudah ada. Sementara itu, mengubah tindakan berarti seseorang memilih untuk mengubah perilaku atau tindakannya agar sesuai dengan keyakinannya.

Proses ini menunjukkan bahwa kita memiliki dorongan psikologis untuk mempertahankan harmoni internal antara pikiran, perasaan, dan tindakannya. Festinger berpendapat bahwa pengurangan disonansi ini menjadi inti dari banyak keputusan kita, termasuk dalam situasi sosial, moral, dan bahkan dalam justifikasi diri. Teori ini memberikan kerangka untuk memahami bagaimana kita menghadapi konflik internal dan menemukan keseimbangan kognitif.

Dalam pengembangan bisnis, teori ini relevan untuk menjelaskan bagaimana perusahaan dapat menghadapi ketidaksesuaian antara tujuan awal dengan kondisi pasar yang berubah. Pemahaman akan disonansi kognitif dapat membantu perusahaan lebih fleksibel dalam menyesuaikan model bisnis atau pivot strategi tanpa kehilangan kepercayaan dari karyawan atau pemangku kepentingan lainnya. Hal ini penting untuk menjaga adaptabilitas dalam menghadapi ketidakpastian pasar.

Secara keseluruhan, teori Festinger membekali para pemimpin perusahaaan untuk memahami dinamika psikologis yang memengaruhi individu dan organisasi, yang pada akhirnya berkontribusi pada efektivitas penyusunan strategi, adaptasi bisnis, dan komunikasi dengan karyawan dan kustomer.

Modularitas dan Tata Kelola Ekosistem

Paper dari Jacobides, Cennamo, dan Gawer (2018) memaparkan lebih lanjut
peran penting modularitas dalam ekosistem. Sebagai implikasinya, diperlukan tata kelola yang seimbang untuk memastikan ekosistem tetap sehat dan berkembang, sehingga dapat mendukung keberlangsungan bisnis dari entitas-entitas di dalamnya.

Koordinasi Ekosistem

Modularitas merupakan elemen krusial dalam mendukung pertumbuhan ekosistem. Modularitas bukanlah faktor eksternal (eksogen), melainkan hasil dari peran aktif pemegang platform dalam membentuk struktur dan hubungan antar entitas di dalam ekosistem. Saat modularitas disusun, ekosistem dapat terbentuk meskipun awalnya tidak dirancang secara eksplisit, seperti yang terjadi pada ekosistem aplikasi iPhone versi awal. Meskipun awalnya dirancang sebagai sistem tertutup (walled garden), ekosistem iPhone berkembang dengan masuknya aplikasi pihak ketiga tanpa otorisasi formal, menciptakan ekosistem yang lahir secara tidak sengaja (accidental ecosystem).

Kolaborasi Ekosistem

Dinamika kolaborasi dalam ekosistem sangat bergantung pada jenis komplementor yang terlibat, yang menghasilkan variasi dalam perilaku dan struktur pengelolaan. Pola perilaku di sektor yang lebih baru cenderung berbeda dibandingkan dengan sektor yang sudah mapan. Semakin dinamis interaksi dalam ekosistem, semakin besar potensi keberhasilan dalam mengenali peluang dan mengadopsi pendekatan yang tepat untuk keberlangsungan ekosistem. Dalam konteks persaingan, kemudahan dalam mengakses aset serta relasi antar komponen menjadi penentu utama dalam menarik aktor baru atau mendorong perpindahan aktor antar ekosistem. Mekanisme ini memperkuat dinamika lintas ekosistem yang dapat memengaruhi kesuksesan kolaborasi.

Penciptaan Nilai

Penciptaan nilai dalam ekosistem dapat dianalisis melalui interaksi antara berbagai komplementor yang terlibat. Interaksi ini tidak hanya memberikan nilai tambah bagi pelanggan, tetapi juga menciptakan tantangan untuk mempertahankan anggota ekosistem, terutama jika ada kompetitor yang menawarkan daya tarik lebih besar. Semakin modular sebuah ekosistem, semakin besar upaya yang harus dilakukan oleh pusat ekosistem untuk menarik anggota baru. Namun, ketika ekosistem mencapai dominasi tertentu, proses penambahan anggota akan terjadi secara alami tanpa banyak intervensi.

Tata Kelola Ekosistem

Tata kelola dalam ekosistem bergantung pada aturan yang mengatur keterlibatan aktor dalam ekosistem, baik dalam bentuk aturan tertulis maupun aturan informal yang diakui secara de facto. Sifat dari antarmuka dan standar dalam ekosistem juga menentukan sejauh mana aktor dapat berpartisipasi secara efektif. Beberapa ekosistem memiliki tata kelola yang ketat dan didokumentasikan, sementara yang lain lebih bergantung pada aturan yang tidak terformalisasi namun tetap diakui oleh para aktor dalam ekosistem tersebut. Keberhasilan tata kelola ini sangat penting untuk memastikan keseimbangan antara inovasi, kolaborasi, dan persaingan dalam ekosistem.

Ekosistem Berbasis Platform

Ekosistem bisnis memiliki karakteristik koordinasi yang unik, dengan entitas yang tergabung tetap bersifat mandiri, namun dihubungkan oleh arsitektur bersama yang bersifat modular. Modularitas dalam ekosistem ini memungkinkan setiap komponen untuk dikelola secara independen dengan tetap menjaga koordinasi antarmodul. Dalam konteks ini, pengelola ekosistem memiliki fleksibilitas penuh dalam desain dan operasi selama konektivitas antar modul tetap terjaga. Ekosistem menjadi relevan ketika koordinasi internal menawarkan nilai yang tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar, namun tidak memerlukan struktur otoritas terpusat untuk berfungsi secara efektif.

Platform dirancang sebagai inti arsitektur sebuah ekosistem, termasuk untuk menerapkan tata kelola dan model bisnis. Penyedia platform diharapkan berfungsi sebagai perancang ekosistem. Namun dalam dunia bisnis dan teknologi yang selalu berubah, kesederhanaan struktur seperti ini dapat setiap saat berubah.

Penelitian dari Ceccagnoli dkk. (2012) serta Gawer & Cusumano (2008) menjelaskan bahwa ekosistem berbasis platform melibatkan penyedia platform utama dan para penyedia produk atau layanan pelengkap (komplementer). Para komplementor ini berperan penting dalam meningkatkan nilai platform bagi pelanggan. Menurut Ceccagnoli dkk. (2012), keterhubungan dengan platform tidak hanya memungkinkan inovasi dari pihak komplementor, tetapi juga memberi mereka akses ke kustomer platform, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, Wareham, Fox, dan Cano Giner (2014) memandang ekosistem platform sebagai suatu marketplace semi-teregulasi yang berfungsi sebagai katalisator aktivitas kewirausahaan melalui koordinasi atau arahan yang diberikan oleh penyedia platform. Cennamo dan Santaló (2013) menambahkan perspektif bahwa ekosistem platform dapat dipahami sebagai pasar multi-sisi yang memungkinkan terjadinya transaksi lintas kelompok pengguna yang berbeda, menciptakan nilai tambah melalui dinamika interaksi antara berbagai pihak dalam ekosistem tersebut.

Paper Jacobides, Cennamo, dan Gawer (2018) memaparkan perbandingan model rantai nilai pada ekosistem dibandingkan sistem lain dalam gambar di bawah.

Model rantai nilai berbasis ekosistem menawarkan pendekatan koordinasi yang berbeda dibandingkan dengan sistem berbasis hierarki dan sistem berbasis nilai pasar. Dalam sistem hierarki, aliran nilai didominasi oleh struktur vertikal yang terorganisir secara ketat, di mana entitas-entitas yang terlibat, seperti komponen atau pemasok, beroperasi dalam kerangka kerja yang ditentukan oleh produk fokus. Relasi antar komponen diatur melalui kontrol langsung, dengan tingkat persaingan yang minim tetapi lebih menekankan kerja sama untuk mencapai efisiensi operasional dalam rantai pasok. Dalam sistem berbasis nilai pasar, struktur hubungan bersifat desentralisasi sepenuhnya, di mana transaksi berlangsung secara langsung antara entitas yang berbeda tanpa peran dominan dari sebuah produk fokus atau penyedia platform. Dalam sistem ini, kompetisi menjadi elemen utama, dengan masing-masing produk atau layanan berupaya untuk menarik pelanggan secara independen.

Sebaliknya, sistem berbasis ekosistem memberikan fleksibilitas yang lebih besar melalui modularitas dan keterhubungan antar entitas. Produk fokus tetap menjadi pusat, tetapi aktor-aktor lain, termasuk komplementor, memiliki otonomi untuk berinovasi dan berkolaborasi, menciptakan nilai tambah baik secara langsung maupun tidak langsung. Komplementor tidak hanya mendukung produk fokus tetapi juga saling terhubung satu sama lain, memungkinkan terciptanya sinergi yang lebih dinamis dibandingkan sistem hierarki. Model ini tetap memerlukan koordinasi untuk memastikan integrasi dan keberlanjutan antar entitas dalam ekosistem.

Kekuatan dan Organisasi Ekosistem

Ekosistem bisnis, inovasi, dan platform adalah tiga jenis ekosistem yang diidentifikasi untuk memahami dinamika kolaborasi antara perusahaan dan berbagai aktor lain dalam lingkungan bisnis modern. Masing-masing memiliki karakteristik dan tujuan unik yang saling melengkapi dalam menciptakan nilai, meningkatkan daya saing, dan mendukung inovasi.

Ekosistem Bisnis

Ekosistem bisnis mengacu pada komunitas yang terdiri atas perusahaan, pelanggan, dan pemasok yang saling memengaruhi. Teece (2007) menggambarkan ekosistem ini sebagai komunitas yang tidak hanya berdampak pada kinerja individu perusahaan, tetapi juga memengaruhi kapabilitas dinamisnya dan kemampuan untuk mempertahankan keunggulan kompetitif. Dalam pandangan Iansiti & Levien (2004), kinerja anggota ekosistem sangat bergantung pada kinerja keseluruhan ekosistem. Ko-evolusi terjadi melalui mekanisme adaptasi bersama yang dijamin oleh keberadaan pemimpin ekosistem yang memelihara stabilitas. Dhanaraj & Parkhe (2006) menyoroti pentingnya perusahaan yang berperan sebagai hub untuk mengelola pengetahuan, inovasi, dan stabilitas dalam ekosistem.

Ekosistem Inovasi

Ekosistem inovasi lebih menekankan pada kolaborasi yang bertujuan menciptakan dan mengkomersialisasikan inovasi. Adner (2006, 2012) menyatakan bahwa ekosistem ini adalah pengaturan di mana perusahaan-perusahaan saling berinteraksi untuk menciptakan nilai bersama bagi pelanggan. Fokus dari ekosistem inovasi adalah mengintegrasikan berbagai komponen, baik dari arah atas (inovator) maupun arah bawah (komplementor), seperti yang dijelaskan oleh Brandenburger & Nalebuff (1996). Kapoor & Lee (2013) menambahkan bahwa pengelolaan ekosistem memengaruhi koordinasi investasi pada teknologi baru dan proses komersialisasi. Pengetahuan memainkan peran penting dalam ekosistem ini, seperti yang diuraikan oleh Alexy, George, & Salter (2013), karena hubungan antara perusahaan dalam ekosistem berdampak pada kesehatan dan kelestarian ekosistem inovasi secara keseluruhan.

Ekosistem Platform

Ekosistem platform berpusat pada penyedia platform serta berbagai aktor yang mendukung dan melengkapi platform tersebut. Ceccagnoli dkk. (2012) serta Gawer & Cusumano (2008) mendefinisikan ekosistem ini sebagai kumpulan penyedia platform dan penyedia produk atau layanan komplementer yang bersama-sama menciptakan nilai bagi pelanggan. Hubungan antara aktor dalam ekosistem platform memungkinkan akses yang lebih luas ke basis pelanggan platform, baik secara langsung maupun tidak langsung. Wareham, Fox, & Cano Giner (2014) menjelaskan bahwa ekosistem platform sering kali berfungsi sebagai marketplace yang setengah terregulasi, mendukung kewirausahaan dengan koordinasi dari penyedia platform. Cennamo & Santalo (2013) menambahkan bahwa ekosistem ini menciptakan pasar multi-sisi yang memungkinkan berbagai kelompok pengguna bertransaksi dan saling berinteraksi.

Camarinha-Matos & Afsarmanesh (2008) mengartikan ekosistem bisnis sebagai jaringan kolaborasi strategis yang terorganisir untuk jangka panjang, mencakup berbagai sektor bisnis yang bekerja secara sinergis. Dalam ekosistem bisnis kolaboratif (Business Collaborative Ecosystem atau BCE), proses bisnis bersama ditekankan sebagai inti dari kolaborasi, didukung oleh infrastruktur kolaborasi yang dirancang untuk memfasilitasi interaksi antaranggota. BCE juga memainkan peran penting dalam membangun dan memelihara kesalingpercayaan antar anggota, yang menjadi fondasi utama dalam menciptakan kerja sama yang efektif dan berkelanjutan.

BCE merupakan bagian dari jaringan kolaborasi yang dapat mengambil berbagai bentuk, mulai dari kolaborasi terorganisasi hingga kolaborasi ad hoc yang bersifat lebih fleksibel. Jaringan strategis adalah bagian penting dari ekosistem ini, mencakup organisasi virtual (VO) dan komunitas virtual. Ekosistem bisnis (BCE) sendiri termasuk dalam cabang jaringan strategis. Melalui pandangan ini, ekosistem bisnis tidak hanya berfungsi sebagai tempat bertemunya pelaku usaha, tetapi juga sebagai kerangka kerja yang terstruktur untuk meningkatkan kolaborasi, efisiensi, dan inovasi di berbagai sektor industri. Kolaborasi strategis jangka panjang menjadi kunci untuk mempertahankan relevansi dan daya saing di pasar global yang dinamis.

Teori Awal Ekosistem Bisnis

Teori awal ekosistem bisnis yang diperkenalkan oleh Moore (1996) mendefinisikan ekosistem bisnis sebagai perluasan dari model bisnis tradisional, yang mempertimbangkan tidak hanya perusahaan inti tetapi juga jaringan kompleks dari pelaku bisnis yang saling terkait. Dalam pandangan Moore, ekosistem bisnis mencakup berbagai pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dengan bisnis utama sebuah perusahaan, seperti pelanggan, jalur distribusi, supplier, penyedia produk komplementer, regulator, hingga kompetitor. Bahkan, dalam kerangka ini, kompetitor tidak hanya dianggap sebagai ancaman tetapi juga sebagai komponen penting dalam pengembangan bisnis, karena mereka dapat menciptakan standar industri bersama atau mendorong inovasi yang saling melengkapi.

Moore (1993), diperkaya Rong (2015)

Ekosistem bisnis digambarkan sebagai struktur dinamis yang berpusat pada bisnis utama, di mana semua pihak berinteraksi dalam pola yang kompleks untuk menciptakan nilai bersama. Dinamika ini melibatkan pengaruh dari berbagai faktor, mulai dari kebutuhan pelanggan, peran pemerintah, hingga standar pasar. Moore menekankan pentingnya perusahaan memahami dan mengelola hubungan ini untuk menciptakan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Namun, dalam definisi awalnya, Moore tidak memberikan elaborasi yang mendalam tentang bagaimana setiap komponen ini berfungsi secara rinci dalam ekosistem. Fokusnya lebih pada pentingnya melihat perusahaan sebagai bagian dari sistem yang lebih besar, di mana keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kinerja internal tetapi juga oleh sinergi dengan elemen-elemen lain dalam ekosistem tersebut.

Shi (2003) diperbarui Rong (2015)

Shi (2003), yang kemudian diperbarui oleh Rong (2015), menggambarkan evolusi teori-teori pengembangan ekosistem bisnis sebagai kerangka untuk memperluas sumber daya bisnis di luar perusahaan, ke tingkat internasional, dan sering kali melibatkan kombinasi keduanya. Konsep ini berfokus pada pengembangan jaringan bisnis, kluster industri, serta inovasi terbuka sebagai elemen utama dalam mendorong eksternalisasi dan internasionalisasi perusahaan. Jaringan bisnis berfungsi sebagai platform kolaborasi untuk berbagi mitra usaha, seperti yang dijelaskan oleh Astley & Fombrun (1983), Wernerfelt (1984), serta Wilkinson & Young (2002). Kluster industri, di sisi lain, memfasilitasi integrasi virtual antar kluster untuk menciptakan sinergi yang lebih besar, seperti yang diuraikan oleh Bergman & Feser (1999), Berkley & Henry (1997), dan Niu (2009).

Selain itu, Rong juga menyoroti tiga aliran utama dalam jaringan supply, yaitu supply klasik, jaringan nilai, dan kluster industri. Perusahaan-perusahaan semakin terdorong untuk mengadopsi pendekatan jaringan produksi antar perusahaan dan antar negara melalui aliansi internasional dan jaringan virtual global, yang memungkinkan efisiensi operasional dan pengelolaan sumber daya lintas batas. Inovasi terbuka menjadi komponen kunci lainnya, di mana gagasan dari dalam dan luar organisasi dipadukan untuk menciptakan nilai baru. Konsep ini didukung oleh penelitian dari Chesbrough (2003), Grassmann & Enkel (2004), serta Rohrbeck dkk. (2009), yang menekankan pentingnya kolaborasi lintas entitas dalam mendorong inovasi.

Kerendahan Hati

Kepemimpinan sering kali dikaitkan dengan karakteristik seperti ketegasan, karisma, dan kemampuan menjadi pusat perhatian. Namun, pendekatan ini mulai bergeser, terutama dengan semakin banyaknya pemimpin yang berhasil menunjukkan bahwa kerendahan hati merupakan kekuatan utama dalam membangun budaya organisasi yang kuat dan mencapai kesuksesan jangka panjang. Penelitian oleh Lovelace dkk. (2018) dan Maldonado dkk. (2018) menggarisbawahi bahwa pemimpin seperti Warren Buffett, Satya Nadella, dan Rajeev Suri adalah contoh nyata dari figur yang tidak hanya memiliki kerendahan hati, tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai tersebut ke dalam budaya organisasi mereka. Kerendahan hati ini menjadi katalis bagi pengembangan kepercayaan, keterlibatan karyawan, dan keterpaduan manajemen, yang semuanya berkontribusi pada kinerja organisasi yang lebih baik.

Berbagai studi, seperti yang dilakukan oleh Chiu dkk. (2016), Owens dkk. (2013), dan lainnya, menunjukkan bahwa kerendahan hati pemimpin dapat meningkatkan kebebasan psikologis dalam organisasi, menciptakan keterlibatan yang lebih mendalam di antara para pengikut, serta membangun suasana kerja yang saling mendukung. Lebih dari itu, kerendahan hati juga berkontribusi pada orientasi strategi yang ambidextrous, yang memungkinkan organisasi untuk menyeimbangkan eksplorasi inovasi dan optimalisasi operasional. Dengan pendekatan yang rendah hati, pemimpin mampu menyelaraskan nilai-nilai perusahaan dengan kebutuhan saat ini tanpa kehilangan arah terhadap visi jangka panjang.

Kerendahan hati sebagai atribut kepemimpinan didefinisikan melalui beberapa dimensi penting, seperti yang dijelaskan oleh Ou dkk. (2014) dan Owens & Hechman (2012). Dimensi pertama adalah accurate self-awareness, yaitu pemahaman yang objektif terhadap kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Dimensi kedua adalah penghargaan terhadap kontribusi orang lain, yang melibatkan pengakuan atas kekuatan dan kelemahan pihak lain dalam organisasi. Teachability, atau keterbukaan untuk belajar, adalah dimensi berikutnya, yang mencerminkan sikap menerima kritik, umpan balik, dan saran untuk pertumbuhan. Rendahnya fokus pada ego (low self-focus) juga menjadi ciri penting, di mana pemimpin tidak mencari perhatian untuk diri sendiri, melainkan memprioritaskan kepentingan tim atau organisasi. Dimensi terakhir adalah orientasi untuk melayani (self-transcendent pursuits), yaitu kesadaran bahwa kepemimpinan adalah tentang melayani sesuatu yang lebih besar dari sekadar kepentingan individu.

Kerendahan hati menjadi semakin krusial dalam masa-masa penuh tantangan, seperti krisis atau disrupsi. Pemimpin yang rendah hati cenderung lebih mampu menghadapi situasi ini karena mereka terbuka terhadap pembelajaran, mau meminta pendapat, dan mendorong kolaborasi lintas tim. Mereka tidak hanya fokus pada hasil instan, tetapi juga pada membangun sistem yang berkelanjutan dengan mendukung inovasi dan peningkatan terus-menerus. Cameron dan Spreitzer (2012) menunjukkan bahwa pendekatan ini juga berkaitan erat dengan keberhasilan bisnis, karena nilai-nilai luhur yang diinternalisasi oleh pemimpin menjadi pondasi bagi kepercayaan dan loyalitas dalam organisasi.

Dalam konteks yang lebih luas, model lima faktor kepribadian (Costa & McCrae, 1992) juga relevan untuk memahami kerendahan hati dalam kepemimpinan. Karakteristik seperti keterbukaan (openness), ketelitian (conscientiousness), dan keramahan (agreeableness) mendukung kerendahan hati sebagai nilai inti dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan produktif. Dengan demikian, kerendahan hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan simbol dari kepemimpinan yang autentik, berorientasi pada pertumbuhan, dan relevan dengan tuntutan organisasi modern.

Teknik Storytelling

Dalam bukunya tentang para tupai, Stephen Denning (2000) menceritakan pengalamannya di World Bank, bahwa penceritaan adalah alat yang sangat efektif untuk berbagi sudut pandang dengan karyawan perusahaan. Dari perspektif Knowledge Management (KM), penceritaan bukan hanya sekadar metode komunikasi, tetapi juga menjadi salah satu faktor keberhasilan penting yang mampu meningkatkan kinerja dan daya saing perusahaan. Dengan kekuatan narasi, penceritaan dapat menyampaikan visi perusahaan secara mendalam. Cerita yang bersifat nyata, namun sederhana, memiliki kemampuan unik untuk menanamkan visi perusahaan dalam bentuk prinsip-prinsip dan konsep-konsep yang relevan. Hal ini memungkinkan visi tersebut untuk dipahami dan diadaptasi dalam berbagai konteks, menciptakan koneksi yang lebih kuat antara individu, organisasi, dan tujuan bersama. Melalui cerita, visi perusahaan tidak hanya menjadi sesuatu yang dihafal, tetapi juga dipahami dan dihidupi oleh setiap anggota organisasi.

Dari buku Denning, dipaparkan bagaimana kita dapat membuat cerita yang baik untuk tujuh tujuan yang berbeda sesuai kebutuhan kita:

1. Untuk Mengomunikasikan Ide Kompleks dan Mendorong Tindakan

Gunakan cerita yang benar, memiliki satu tokoh utama yang relevan dengan audiens, dan berfokus pada hasil positif. Cerita harus disampaikan dengan detail minimal untuk memancing imajinasi dan memberikan arahan yang jelas, seperti menggunakan frasa “Just imagine…” atau “What if…”. Cerita yang sukses akan menginspirasi audiens untuk bertindak.

2. Untuk Mengomunikasikan Siapa Anda

Ceritakan kisah yang menunjukkan kekuatan atau kerentanan dari masa lalu Anda, serta cerita yang benar dan emosional. Cerita ini harus disampaikan dengan konteks agar audiens dapat memahami Anda lebih baik, memungkinkan mereka untuk mempercayai Anda sebagai individu.

3. Untuk Menyampaikan Nilai-Nilai

Ceritakan bagaimana seorang pemimpin menghadapi kesulitan, relevan dengan konteks saat ini, dan dapat dipercaya. Pastikan cerita ini konsisten dengan tindakan dan nilai-nilai kepemimpinan yang ingin Anda komunikasikan, sehingga audiens memahami bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan dalam praktik.

4. Untuk Mengajak Orang Bekerja Sama dalam Sebuah Kelompok atau Komunitas

Gunakan cerita yang emosional dan relevan dengan pendengar. Cerita ini harus disampaikan dengan konteks yang menciptakan dasar bersama untuk bertindak, seperti berbagi pengalaman yang mendorong kolaborasi. Audiens yang terlibat akan lebih siap untuk bekerja sama sebagai tim.

5. Untuk Mengatasi atau Menetralkan Gosip Negatif

Sampaikan cerita yang mengungkap humor atau ironi dalam berita buruk, dan pastikan cerita itu benar. Gabungkan kebenaran dengan kepedulian untuk memberikan pemahaman baru. Cerita yang sukses akan membantu audiens melihat gosip atau informasi negatif dari perspektif yang berbeda, mengurangi dampaknya.

6. Untuk Membagikan Informasi dan Pengetahuan

Gunakan cerita yang mencakup masalah, konteks, solusi, dan penjelasan. Cerita harus memuat detail yang mencerminkan berbagai perspektif, menyoroti tantangan, dan cara mengatasinya. Verifikasi kebenaran cerita untuk memastikan kredibilitas. Cerita ini akan membantu audiens memahami “bagaimana” dan “mengapa” sesuatu dilakukan.

7. Untuk Memimpin Orang Menuju Masa Depan

Ceritakan kisah yang berfokus pada masa depan, evocative, dan menangkap ide dasar tentang ke mana arah yang dituju. Cerita harus disampaikan dengan detail secukupnya untuk membangkitkan pemahaman dan resonansi dengan audiens, serta memastikan mereka siap mengikuti visi yang ditetapkan. Cerita yang sukses akan membantu audiens memahami arah yang mereka tuju.

« Older posts

© 2025 Leadership Insights

Theme by Anders NorenUp ↑