Kepemimpinan sering kali dikaitkan dengan karakteristik seperti ketegasan, karisma, dan kemampuan menjadi pusat perhatian. Namun, pendekatan ini mulai bergeser, terutama dengan semakin banyaknya pemimpin yang berhasil menunjukkan bahwa kerendahan hati merupakan kekuatan utama dalam membangun budaya organisasi yang kuat dan mencapai kesuksesan jangka panjang. Penelitian oleh Lovelace dkk. (2018) dan Maldonado dkk. (2018) menggarisbawahi bahwa pemimpin seperti Warren Buffett, Satya Nadella, dan Rajeev Suri adalah contoh nyata dari figur yang tidak hanya memiliki kerendahan hati, tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai tersebut ke dalam budaya organisasi mereka. Kerendahan hati ini menjadi katalis bagi pengembangan kepercayaan, keterlibatan karyawan, dan keterpaduan manajemen, yang semuanya berkontribusi pada kinerja organisasi yang lebih baik.

Berbagai studi, seperti yang dilakukan oleh Chiu dkk. (2016), Owens dkk. (2013), dan lainnya, menunjukkan bahwa kerendahan hati pemimpin dapat meningkatkan kebebasan psikologis dalam organisasi, menciptakan keterlibatan yang lebih mendalam di antara para pengikut, serta membangun suasana kerja yang saling mendukung. Lebih dari itu, kerendahan hati juga berkontribusi pada orientasi strategi yang ambidextrous, yang memungkinkan organisasi untuk menyeimbangkan eksplorasi inovasi dan optimalisasi operasional. Dengan pendekatan yang rendah hati, pemimpin mampu menyelaraskan nilai-nilai perusahaan dengan kebutuhan saat ini tanpa kehilangan arah terhadap visi jangka panjang.

Kerendahan hati sebagai atribut kepemimpinan didefinisikan melalui beberapa dimensi penting, seperti yang dijelaskan oleh Ou dkk. (2014) dan Owens & Hechman (2012). Dimensi pertama adalah accurate self-awareness, yaitu pemahaman yang objektif terhadap kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Dimensi kedua adalah penghargaan terhadap kontribusi orang lain, yang melibatkan pengakuan atas kekuatan dan kelemahan pihak lain dalam organisasi. Teachability, atau keterbukaan untuk belajar, adalah dimensi berikutnya, yang mencerminkan sikap menerima kritik, umpan balik, dan saran untuk pertumbuhan. Rendahnya fokus pada ego (low self-focus) juga menjadi ciri penting, di mana pemimpin tidak mencari perhatian untuk diri sendiri, melainkan memprioritaskan kepentingan tim atau organisasi. Dimensi terakhir adalah orientasi untuk melayani (self-transcendent pursuits), yaitu kesadaran bahwa kepemimpinan adalah tentang melayani sesuatu yang lebih besar dari sekadar kepentingan individu.

Kerendahan hati menjadi semakin krusial dalam masa-masa penuh tantangan, seperti krisis atau disrupsi. Pemimpin yang rendah hati cenderung lebih mampu menghadapi situasi ini karena mereka terbuka terhadap pembelajaran, mau meminta pendapat, dan mendorong kolaborasi lintas tim. Mereka tidak hanya fokus pada hasil instan, tetapi juga pada membangun sistem yang berkelanjutan dengan mendukung inovasi dan peningkatan terus-menerus. Cameron dan Spreitzer (2012) menunjukkan bahwa pendekatan ini juga berkaitan erat dengan keberhasilan bisnis, karena nilai-nilai luhur yang diinternalisasi oleh pemimpin menjadi pondasi bagi kepercayaan dan loyalitas dalam organisasi.

Dalam konteks yang lebih luas, model lima faktor kepribadian (Costa & McCrae, 1992) juga relevan untuk memahami kerendahan hati dalam kepemimpinan. Karakteristik seperti keterbukaan (openness), ketelitian (conscientiousness), dan keramahan (agreeableness) mendukung kerendahan hati sebagai nilai inti dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan produktif. Dengan demikian, kerendahan hati bukanlah tanda kelemahan, melainkan simbol dari kepemimpinan yang autentik, berorientasi pada pertumbuhan, dan relevan dengan tuntutan organisasi modern.